Jumat, 22 Mei 2009

Keaslian Ushul fiqih

A. Keaslian ilmu ushul fiqih

Bagi para imam mujtahidin yang melakukan istinbath ada sebuah pekerjaan lain yang menyempurnakan pekerjaan alih bahasa, yaitu bahwa mereka harus menetapkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya dengan berpedoman pada imam-imam ahli bahasa. Juga bergaul dengan bangsa arab dan memahami cara-cara mereka dalam menyusun kalimat. Disamping berpedoman pada pemahaman mereka dari jiwa atau kandungan syari’at dan tujuannya dalam membebani para mukallaf dengan kewajiban syari’at.[1]

Benih- benih ushul muncul pada masa tabiin dan tabiit tabiin (abad I-II H), sebagai permulaan dimulainya aktivitas ilmiah berupa transfer ilmu filsafat yunani, persia dan india, terutama melalui kegiatan penerjemahan buku-buku asing. Aktivitas ini mencapai puncaknya pada masa As Syafi’ i sebagai founding father ilmu ushul. Sejak abad I H umat Islam sudah mengenal ilmu manthiq (logika) dan filsafat secara umum. Hal ini ditandai dengan adanya transformasi filsafat yunani kedalam bahasa arab. Kegiatan ini dimulai pada masa khalifah Yazid bin Mu’awiyah, dinasti Umayyah. Kegiatan ini berlanjut sampai pada masa dinasti Abbasiyah.

Dalam perjalanannya yang cukup panjang dan tak lepas dari gejolak perselisihan, ilmu ushul fiqh yang telah berhasil dituangkan pertama kali oleh Muhammad ibn Idris as-Syafi'i dalam kitab Ar-Risalah nya, masih tetap eksis dan menjadi pembahasan yang cukup menghabiskan tenaga, waktu dan pikiran para mujtahidin yang kerap kali menginginkan agar islam ini menjadi agama yang tetap relevan dalam segala masa dan tempat.

Tetapi beredarnya filsafat pada masa syafi’i tidak secara otomatis mempengaruhi pola pikirnya secara totalitas karena ia masih dikenal sebagai ulama’ yang sangat mangunggulkan nash dan membatasi metode istinbath dengan rasio, kecuali hanya pada metode qiyas. As syafi’i sendiri dapat berbahasa yunani dan menguasai ilmu manthiq. Hal itu dapat dibuktikan ketika ia ditanya oleh khalifah Harun Ar Rasyid dengan menggunakan bahasa yunani mengenai ilmu kedokteran. Dan teryata ia sangat mahir menjawabnya dalam bahasa yunani.

Oleh karena itu tidak dapat disimpulkan begitu saja bahwa as syafi’i dalam merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah nya telah dipengaruhi oleh filsafat yunani. Kalaupun pengaruh itu ada tetapi sulit untuk diukur sebab teori-teorinya yang dibangun itu dianggap mirip dengan logika, padahal benih- benihnya sudah ada sejak zaman Nabi. l

Menurut Ali Sami’ pengaruh filsafat yunani kedalam ushul baru nampak setelah ahli kalam seperti al-Juwaini mulai meramaikan wacana filsafat dalam karya-karya ushulnya, yaitu dengan metode berfikir toeritis dan sistematis. Menurutnya lagi al-Juwainilah yang pertama kali memasukkan pengaruh manthiq dalam ushul meski sangat terbatas.

Jika al-Juwaini dikenal sebagai ahli ushul yang pertama kali memasukkan filsafat dalam ushul meskipun belum tegas maka al Ghazali dalam karya ushulnya secara terang-terangan memosisikan ilmu manthiq sebagai disiplin ilmu yang sangat penting dalam kerangka kajian ushul. Al Ghazali dalam karya ishulnya al- mustafa menegaskan ’’Barang siapa yang tidak menguasai ilmu manthiq Aristoteles, maka ilmunya tidak dapat dijamin kebenarannya”. Karena itu ilmu manthiq merupakan salah satu syarat ijtihad dan hukumnya adalah fardhu kifayah bagi umat Islam.[2]

Dari sini nampak jelas bahwa ilmu ushul telah dipengaruhi oleh filsafat yunani. Akan tetapi pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in itu dipastikan belum masuk karena transformasi filsafat ke Islam belum dimulai. Adapun pada masa tabiit tabi’in pengaruh itu dimungkinkan sudah masuk, meskipun dalam skala kecil.

B. Pengaruh manthiq Aristo dalam perkembangan ushul fiqih

Perlu diketahui bahwa ushul fiqih mengalami perkembangan pesat setelah di bukukan. Namun merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa perkembangan itu disebabkan oleh pengaruh asing yaitu filsafat Aristo, khususnya manthiq yang pada saat itu sudah diterjemahkan dalam bahasa arab. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya metode ilmiah yang dikembangkan oleh as syafi’i banyak menarik minat ulama’-ulama’ ushul fiqih sesudahnya, baik dari kalangan fuqaha maupun dari kalangan mutakallimin.

Suatu hal yang perlu dicatat bahwa masuknya pengaruh manthiq Aristo kedalam ushul fiqih itu dimulai semenjak imam Al- Haramain (al- Juwaini) atau setidak- tidaknya oleh Ghazali. Dan pengaruh ini terjadi sejak akhir abad 5 H ini banyak mendapat tantangan dari para ulama’ yang hidup semasanya dan sesudahnya. Ulama’ yang terkenal menentangnya ialah ibnu Ash- Shalah dan Ibnu Taimiyah.

Ibnu Shalah menentang keras al Ghazali yang berpendapat ’’Barang siapa yang tidak menguasai ilmu manthiq Aristoteles, maka ilmunya tidak dapat dijamin kebenarannya”. Ibnu Shalah berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dan lain-lain dapat mencapai tingkat keyakinan padahal tidak seorangpun diantara mereka yang mengetahui manthiq. Ketika ibnu shalah ditanya apakah para sahabat, tabi’in membolehkan mempelajari manthiq? Ia menjawab manthiq adalah suatu jalan masuk kesesatan, sedangkan masuk kedalam kesesatan adalah sesat. Karena mempelajari bukanlah hal yang dibolehkan oleh syari’at dan tidak seorangpun dari para sahabat, tabi’in yang membolehkannya.[3]

Tantangan yang sama juga dilontarkan oleh ibnu taimiyah dala bukunya Ar- Radd ’ala al- Manthiqiyah ia menyalahkan orang yang menganggap ilmu yang diperoleh dengan akal (dalam hal ini manthiq) sebagai bagian dari ilmu keagamaan, selain ilmu aqliyah yang diajarkan oleh Nabi sendiri dalam bentuk pemahaman dan praktek. Ia menyatakan bahwa orang yang beranggapan demikian telah dimasuki pengaruh dari luar dan hawa nafsu yang merusak.

C. Peranan ushul fiqih dalam perkembangan fiqih Islam

Perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai target yang hendak di capai oleh ilmu ushul fiqih dalam perkembangan fiqih Islam. Dengan demikian seorang faqih atau seorang peneliti yang menggeluti dan mendalami bidang studi ushul fiqih Islam tidak merasa terikat atau terhambat dengan adanya kaidah-kaidah ushuliyah itu melainkan sebaliknya mereka memerlukan kaidah-kaidah tersebut dan menganggapnya sebagai suatu jalan yang harus ditempuh sebagaimana para mujtahid terdahulu telah menempuhnya.

Adapun target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian orang yang beristinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti seseorang mujtahid dalam berijtihad nya berpegang pada kaidah- kaidah yang benar.[4]

Oleh karena itu peranan ushul fiqih dalam menyiapkan kaidah-kaidah dengan menggunakan dalil- dalil yang terinci yang diperlukan dalam menetapkan hukum syara’. Ringkasnya bahwa peranan ushul fiqih itu adalah kaidah- kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan hukum dan dalil- dalil yang rinci dan kuat. [5]

Adapun peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarka hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqih Islam dan sebagai penyaring pemikiran- pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, ibnu khaldun dalam kitabnya muqaddamah berkata ’’Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulya, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidahnya”.

Berdasarkan hal ini para ulama’ memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dhoruri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainnya. Dan bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama’ terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dalalah lafadzh yang terdapat pada nash syara’, terutama dalam Al- Qur’an.



[1] Syekh Muhammad Al- Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), 3

[2] Abdul Mughist, Ushul Fiqih Bagi Pemula, (Jakarta: Cv Arta Rivera, 2008), 51

[3] Rahmat Syafi’ie, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia, 1999). 41

[4] Ibid…, 43

[5] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 83

1 komentar:

  1. If you're attempting to lose fat then you absolutely have to start following this totally brand new personalized keto meal plan.

    To produce this keto diet service, licenced nutritionists, fitness trainers, and cooks united to develop keto meal plans that are productive, convenient, price-efficient, and enjoyable.

    Since their grand opening in 2019, hundreds of clients have already transformed their body and well-being with the benefits a great keto meal plan can provide.

    Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones provided by the keto meal plan.

    BalasHapus